Kamis, 16 Juni 2016

Hakekat Manusia Menurut Immanuel Kant

Immanuel Kant


Immanuel Kant adalah seseorang yang sederhana. Selama hidupnya Kant menetap di Prusia dan mengalami masa peperangan tujuh tahun sewaktu Rusia menaklukkan Prusia Timur. Ia juga hidup dalam masa revolusi Perancis dan masa kejayaan Napoleon. Immanuel Kant dilahirkan di Koenigsberg, suatu kota di Prusia Timur, Jerman pada tanggal 22 April 1724, dari keluarga pembuat dan penjual alat-alat dari kulit untuk keperluan menunggang kuda. Dari ibunya Kant mendapat pengaruh agama yang beraliran Pietisme, ialah suatu aliran dalam agama yang menghendaki suatu ketaatan yang mendalam dari para pemeluknya. Itulah sebabnya Kant besar kepercayaannya kepadaTuhan hanya kehadirannya di gereja sangat terbatas pada hari-hari besar agama saja. Akan tetapi ia hidup dalam zaman scepticsim serta membaca karangan-karangan VoltairedanHume.
 
Tiga Pokok Pemikiran Immanuel Kant
  1. Panca indera, akal budi dan rasio. Kita sudah tahu tentang artiempirisme yang mementingkan pengalaman inderawi dalam memperoleh pengetahuan dan rasionalisme yang mengedepankan penggunaan rasio dalam memperoleh pengetahuan, tetapi rasio yang kita ketahui adalah sama dengan akal dan logis namun Kant memberi definisi berbeda. Pada Kant istilah rasio memiliki arti yang baru, bukan lagi sebagai langsung kepada pemikiran, tetapi sebagai sesuatu yang ada “di belakang” akal budi dan pengalaman inderawi. Dari sini dapat dipilah bahwa ada tiga unsur: akal budi dan pengalaman inderawi.
  1. Dalam filsafatnya Kant mencoba untuk mensinergikan antara rasionalisme dan empirisme Ia bertujuan untuk membuktikan bahwa sumber pengetahuan itu diperoleh tidak hanya dari satu unsur saja melainkan dari dua unsur yaitu pengalaman inderawi dan akal budi. Pengetahuan apriori merupakan jenis pengetahuan yang datang lebih dulu sebelum dialami, seperti misalnya pengetahuan akan bahaya, sedangkan a-posteriori sebaliknya yaitu dialami dulu baru mengerti misalnya dalam menyelesaikan rubix cube. Kalau salah satunya saja yang dipakai misalnya hanya empirisme saja atau rasionalisme saja maka pengetahuan yang diperoleh tidaklah sempurna bahkan bisa berlawanan. FilsafatKant menyebutkan bahwa pengetahuan merupakan gabungan (sintesis) antara keduanya.
  1. Dari sini timbullah bahwa Kant adalah seorang kopernikan dalam bidang filsafat. Sebelum Kant, filsafat hampir selalu memandang bahwa orang (subjek) yang mengamati objek, tertuju pada objek, penelitian objek dan sebagainya. Kant memberikan arah yang sama sekali baru, merupakan kebalikan dari filsafat sebelumnya yaitu bahwa objeklah yang harus mengarahkan diri kepada subjek. Kantdapat dikatakan sebagai seorang revolusioner karena dalam ranah pengetahuan ia tidak memulai pengetahuan dari objek yang ada tetapi dari yang lebih dekat terlebih dahulu yaitu si pengamat objek (subjek).
Filsafat ini memulai pelajarannya dengan menyelidiki batas-batas kemampuan rasio sebagai sumber pengetahuan manusia. Oleh karena itu,kritisisme sangat berbeda dengan corak filsafat modern sebelumnya yang mempercayai kemampuan rasio secara mutlak. Isi utama dari kritisisme adalah gagasanImmanuel Kanttentang teori pengetahuan, etika dan estetika. Gagasan ini muncul karena adanya pertanyaan-pertanyaan mendasar yang timbul pada pemikiran Immanuel Kant.


Ciri-ciri kritisisme dapat disimpulkan dalam tiga hal:
  1. Menganggap bahwa objek pengenalan itu berpusat pada subjek dan bukan pada objek.
  1. Menegaskan keterbatasan kemampuan rasio manusia untuk mengetahui realitas atau hakikat sesuatu; rasio hanyalah mampu menjangkau gejalanya atau fenomenanya saja.
  1. Menjelaskan bahwa pengenalan manusia atas sesuatu itu diperoleh atas perpaduan antara peranan unsur anaximanesapriori yang berasal dari rasio serta berupa ruang dan waktu dan peranan unsur aposteriori yang berasal dari pengalaman yang berupa materi. 




    Sumber :
     
    1. https://susansutardjo.wordpress.com/tag/immanuel-kant
    2. http://www.academia.edu/5020095/Pembahasan_makalah_Filsafat_Immanuel_Kant



Kamis, 09 Juni 2016

Jean Paul Sartre

Jean Paul Sartre tokoh eksistensialisme yang besar di abad ke 20 ini lahir di Paris, Prancis, pada tanggal 21 Juni 1905 M. Sartre besar di lingkungan keluarga yang sedang-sedang saja – tidak miskin, tidak juga kaya. Ayahnya, Jean Baptiste penganut agama Katolik. Sedang ibunya, Anne Marie Schweitzer beragama Protestan. Di usianya yang masih balita, dia harus menjadi yatim, karena ditinggal mati oleh ayahnya yang sedang menunaikan tugas negara sebagai seorang perwira angkatan laut di Indocina. Faktual, sejak saat itu, ia dibimbing dan diasuh ibunya dengan penuh kasih sayang “poulou” panggilan kesayangannya. Kakeknya, Charles Schweitzer - seorang guru bahasa dan sastra Jerman - tidak kalah menyayangi Sartre sebagaimana sebutan sayangnya dengan julukan “anak emas” atau “anak ajaib”.
Semenjak kecil fisik Sartre memang lemah, di usia 4 tahun dia mengidap penyakit strabismus ‘mata juling’, itulah sebabnya ia selalu menjadi bahan olok-olok teman sekelasnya. Dari sana ia memiliki sensitivitas yang tinggi. Sekolah menjadi pengalaman tersendiri baginya, ia menjadi anak yang “minder” dan “penyendiri” sehingga dia lebih punya waktu bepikir dan merenung. Suatu gejala yang biasa terdapat pada anak-anak di mana kondisi fisiknya lemah serta lingkungan yang tidak menguntungkannya. Namun kemudian ia menemukan kesenangannya pada perpustakaan pribadi kakeknya yang berjumlah ratusan buku.
Pada tahun 1924, Sartre berhasil mencatatkan dirinya sebagai salah seorang mahasiswa Ecole Normale Superieure, sebuah perguruan tinggi bergengsi di prancis. Namun mengejutkan, pada ujian kelulusannya yang pertama (agregation) ia mendapat peringkat terakhir di kelasnya. Selang penundaannya pada agregation kedua mempertemukannya dengan seorang mahasiswi filsafat yang cantik, pandai dan baik pula kepada Sartre, yaitu Simone De Beauvoir. Mereka saling cinta dan bersahabat sampai Sartre meninggal. Keduanya tak pernah menikah, mereka memanggil satu sama lain dengan sebutan formal “Anda”. Mereka kerap menghabiskan waktunya bersama, menonton film serta belajar bersama guna menghadapi ujian. Pada agregation kedua, Sartre mendapat peringkat pertama dan simone de beauvoir menempati peringkat kedua.
Dia pernah ke Jerman, disanalah dia bertemu dengan Husserl. Pertemuannya dengan Husserl memiliki tempat yang penting dalam perkembangan pemikiran Sartre di kemudian hari. Sepulang dari jerman dia kembali mengajar di la havre dan di Lycee pasteur.


Eksistensialisme Jean Paul Sartre adalah aliran eksistensialisme yang dicetuskan dan dipublikasikan oleh Sartre. Aliran eksistesialimenya tersebut dipengaruhi oleh tiga pemikiran pokok, yaitu Marxisme, eksistensialisme, dan fenomenologi. Pada dasarnya, eksistensialisme Sartre bukanlah sebuah aliran filsafat, melainkan sebuah gerakan perlawanan terhadap filsafat tradisional. Dalam eksistensialisme, Sartre banyak menggarap permasalahan mengenai manusia. Sartre juga membahas tentang kebebasan menjadi seorang manusia, bahkan hasrat manusia untuk menjadi Tuhan. Eksistensialisme menurut pemikiran Sartre dibagi menjadi 5 bagian, yaitu :
  1. La Nausse
    Nausee berarti rasa ingin muntah dan mual. La Nausee sebenarnya merupakan sebuah judul roman karya Sartre. Dalam novel ini ia menggambarkan bagaimana seseorang yang dalam hidupnya secara tiba-tiba melihat sekelilingnya terasa begitu membosankan dan menimbulkan rasa mual. Ketika manusia mengalami kesadaran bahwa dirinya sendiri dan seluruh kenyataan yang ada sebagai sesuatu yang membebani, manusia akan merasa tertindas. Keadaan inilah yang akan membuat manusia merasa mual. nilah yang dimaksud Sartre sebagai nausee.
  2. L''etre-en-soi
    Etre jika diterjemahkan secara lurus artinya "ada" atau "sesuatu yang ada". Dalam bagian ini Sartre berbicara mengenai realitas. Realitas adalah barang-barang yang ada. Misalnya, manusia dapat mengerti mengenai bumi karena mereka menginjak bumi. Jika diterjemahkan, istilah L'Etre-en-soi berarti pengada yang tidak sadar. Pengada yang tidak sadar gelap bagi dirinya sendiri. Dia tidak dapat dianalisis atau dipikirkan, bahkan tidak mungkin mencari sebab mengapa dia ada.[ Akan tetapi, konsep pengada yang tidak sadar ini tidak bisa mengarah ke pengertian bahwa yang dimaksud di sini adalah Tuhan.
  3. L'etre-pour-soi
    L'etre-pour-soi berarti pengada yang sadar. Sartre menujuk manusia sebagai pengada yang sadar. Sadar akan sesuatu maskudnya terhubung atau berhubungan dengan sesuatu. Menurut Sartre, sadar akan sesuatu berarti meniadakan sesuatu. Tindakan manusia bersifat dinamis dan berubah-ubah. Ketika manusia sadar akan dirinya sendiri, maka dia sebenarnya sedang ada dalam peralihan, meniadakan dirinya sendiri. Disini manusia menjadi objek yang disadari sekaligus subjek yang sadar.
  4. La Liberte
    La liberta artinya kemerdekaan. Dalam bagian ini Sartre membicarakan mengenai kemerdekaan manusia. Manusia bergerak atas kehendaknya sendiri, tidak seperti mesin yang digerakkan. Kemerdekaan menempati posisi sentral dalam diri manusia. Kemerdekaan manusia menurut Sartre adalah ketika manusia dapat menguasai dirinya secara bebas. Menurut Sartre hidup dan kemerdekaan pada dasarnya sia-sia belaka.
  5. L'autrui
    L'autrui membicarakan mengenai hubungan manusia dengan sesama manusianya. Menurut Sartre hubungan manusia dengan sesama manusianya adalah mutlak. Satre menyatakan bahwa dalam berhubungan dengan manusia lain pilihannya adalah menjadi subjek atau objek. Kemudian Sartre mengatakan bahwa dalam pergaulan konflik dan permusuhan akan muncul secara terus menerus.





Sumber :