Kamis, 16 Juni 2016

Hakekat Manusia Menurut Immanuel Kant

Immanuel Kant


Immanuel Kant adalah seseorang yang sederhana. Selama hidupnya Kant menetap di Prusia dan mengalami masa peperangan tujuh tahun sewaktu Rusia menaklukkan Prusia Timur. Ia juga hidup dalam masa revolusi Perancis dan masa kejayaan Napoleon. Immanuel Kant dilahirkan di Koenigsberg, suatu kota di Prusia Timur, Jerman pada tanggal 22 April 1724, dari keluarga pembuat dan penjual alat-alat dari kulit untuk keperluan menunggang kuda. Dari ibunya Kant mendapat pengaruh agama yang beraliran Pietisme, ialah suatu aliran dalam agama yang menghendaki suatu ketaatan yang mendalam dari para pemeluknya. Itulah sebabnya Kant besar kepercayaannya kepadaTuhan hanya kehadirannya di gereja sangat terbatas pada hari-hari besar agama saja. Akan tetapi ia hidup dalam zaman scepticsim serta membaca karangan-karangan VoltairedanHume.
 
Tiga Pokok Pemikiran Immanuel Kant
  1. Panca indera, akal budi dan rasio. Kita sudah tahu tentang artiempirisme yang mementingkan pengalaman inderawi dalam memperoleh pengetahuan dan rasionalisme yang mengedepankan penggunaan rasio dalam memperoleh pengetahuan, tetapi rasio yang kita ketahui adalah sama dengan akal dan logis namun Kant memberi definisi berbeda. Pada Kant istilah rasio memiliki arti yang baru, bukan lagi sebagai langsung kepada pemikiran, tetapi sebagai sesuatu yang ada “di belakang” akal budi dan pengalaman inderawi. Dari sini dapat dipilah bahwa ada tiga unsur: akal budi dan pengalaman inderawi.
  1. Dalam filsafatnya Kant mencoba untuk mensinergikan antara rasionalisme dan empirisme Ia bertujuan untuk membuktikan bahwa sumber pengetahuan itu diperoleh tidak hanya dari satu unsur saja melainkan dari dua unsur yaitu pengalaman inderawi dan akal budi. Pengetahuan apriori merupakan jenis pengetahuan yang datang lebih dulu sebelum dialami, seperti misalnya pengetahuan akan bahaya, sedangkan a-posteriori sebaliknya yaitu dialami dulu baru mengerti misalnya dalam menyelesaikan rubix cube. Kalau salah satunya saja yang dipakai misalnya hanya empirisme saja atau rasionalisme saja maka pengetahuan yang diperoleh tidaklah sempurna bahkan bisa berlawanan. FilsafatKant menyebutkan bahwa pengetahuan merupakan gabungan (sintesis) antara keduanya.
  1. Dari sini timbullah bahwa Kant adalah seorang kopernikan dalam bidang filsafat. Sebelum Kant, filsafat hampir selalu memandang bahwa orang (subjek) yang mengamati objek, tertuju pada objek, penelitian objek dan sebagainya. Kant memberikan arah yang sama sekali baru, merupakan kebalikan dari filsafat sebelumnya yaitu bahwa objeklah yang harus mengarahkan diri kepada subjek. Kantdapat dikatakan sebagai seorang revolusioner karena dalam ranah pengetahuan ia tidak memulai pengetahuan dari objek yang ada tetapi dari yang lebih dekat terlebih dahulu yaitu si pengamat objek (subjek).
Filsafat ini memulai pelajarannya dengan menyelidiki batas-batas kemampuan rasio sebagai sumber pengetahuan manusia. Oleh karena itu,kritisisme sangat berbeda dengan corak filsafat modern sebelumnya yang mempercayai kemampuan rasio secara mutlak. Isi utama dari kritisisme adalah gagasanImmanuel Kanttentang teori pengetahuan, etika dan estetika. Gagasan ini muncul karena adanya pertanyaan-pertanyaan mendasar yang timbul pada pemikiran Immanuel Kant.


Ciri-ciri kritisisme dapat disimpulkan dalam tiga hal:
  1. Menganggap bahwa objek pengenalan itu berpusat pada subjek dan bukan pada objek.
  1. Menegaskan keterbatasan kemampuan rasio manusia untuk mengetahui realitas atau hakikat sesuatu; rasio hanyalah mampu menjangkau gejalanya atau fenomenanya saja.
  1. Menjelaskan bahwa pengenalan manusia atas sesuatu itu diperoleh atas perpaduan antara peranan unsur anaximanesapriori yang berasal dari rasio serta berupa ruang dan waktu dan peranan unsur aposteriori yang berasal dari pengalaman yang berupa materi. 




    Sumber :
     
    1. https://susansutardjo.wordpress.com/tag/immanuel-kant
    2. http://www.academia.edu/5020095/Pembahasan_makalah_Filsafat_Immanuel_Kant



Kamis, 09 Juni 2016

Jean Paul Sartre

Jean Paul Sartre tokoh eksistensialisme yang besar di abad ke 20 ini lahir di Paris, Prancis, pada tanggal 21 Juni 1905 M. Sartre besar di lingkungan keluarga yang sedang-sedang saja – tidak miskin, tidak juga kaya. Ayahnya, Jean Baptiste penganut agama Katolik. Sedang ibunya, Anne Marie Schweitzer beragama Protestan. Di usianya yang masih balita, dia harus menjadi yatim, karena ditinggal mati oleh ayahnya yang sedang menunaikan tugas negara sebagai seorang perwira angkatan laut di Indocina. Faktual, sejak saat itu, ia dibimbing dan diasuh ibunya dengan penuh kasih sayang “poulou” panggilan kesayangannya. Kakeknya, Charles Schweitzer - seorang guru bahasa dan sastra Jerman - tidak kalah menyayangi Sartre sebagaimana sebutan sayangnya dengan julukan “anak emas” atau “anak ajaib”.
Semenjak kecil fisik Sartre memang lemah, di usia 4 tahun dia mengidap penyakit strabismus ‘mata juling’, itulah sebabnya ia selalu menjadi bahan olok-olok teman sekelasnya. Dari sana ia memiliki sensitivitas yang tinggi. Sekolah menjadi pengalaman tersendiri baginya, ia menjadi anak yang “minder” dan “penyendiri” sehingga dia lebih punya waktu bepikir dan merenung. Suatu gejala yang biasa terdapat pada anak-anak di mana kondisi fisiknya lemah serta lingkungan yang tidak menguntungkannya. Namun kemudian ia menemukan kesenangannya pada perpustakaan pribadi kakeknya yang berjumlah ratusan buku.
Pada tahun 1924, Sartre berhasil mencatatkan dirinya sebagai salah seorang mahasiswa Ecole Normale Superieure, sebuah perguruan tinggi bergengsi di prancis. Namun mengejutkan, pada ujian kelulusannya yang pertama (agregation) ia mendapat peringkat terakhir di kelasnya. Selang penundaannya pada agregation kedua mempertemukannya dengan seorang mahasiswi filsafat yang cantik, pandai dan baik pula kepada Sartre, yaitu Simone De Beauvoir. Mereka saling cinta dan bersahabat sampai Sartre meninggal. Keduanya tak pernah menikah, mereka memanggil satu sama lain dengan sebutan formal “Anda”. Mereka kerap menghabiskan waktunya bersama, menonton film serta belajar bersama guna menghadapi ujian. Pada agregation kedua, Sartre mendapat peringkat pertama dan simone de beauvoir menempati peringkat kedua.
Dia pernah ke Jerman, disanalah dia bertemu dengan Husserl. Pertemuannya dengan Husserl memiliki tempat yang penting dalam perkembangan pemikiran Sartre di kemudian hari. Sepulang dari jerman dia kembali mengajar di la havre dan di Lycee pasteur.


Eksistensialisme Jean Paul Sartre adalah aliran eksistensialisme yang dicetuskan dan dipublikasikan oleh Sartre. Aliran eksistesialimenya tersebut dipengaruhi oleh tiga pemikiran pokok, yaitu Marxisme, eksistensialisme, dan fenomenologi. Pada dasarnya, eksistensialisme Sartre bukanlah sebuah aliran filsafat, melainkan sebuah gerakan perlawanan terhadap filsafat tradisional. Dalam eksistensialisme, Sartre banyak menggarap permasalahan mengenai manusia. Sartre juga membahas tentang kebebasan menjadi seorang manusia, bahkan hasrat manusia untuk menjadi Tuhan. Eksistensialisme menurut pemikiran Sartre dibagi menjadi 5 bagian, yaitu :
  1. La Nausse
    Nausee berarti rasa ingin muntah dan mual. La Nausee sebenarnya merupakan sebuah judul roman karya Sartre. Dalam novel ini ia menggambarkan bagaimana seseorang yang dalam hidupnya secara tiba-tiba melihat sekelilingnya terasa begitu membosankan dan menimbulkan rasa mual. Ketika manusia mengalami kesadaran bahwa dirinya sendiri dan seluruh kenyataan yang ada sebagai sesuatu yang membebani, manusia akan merasa tertindas. Keadaan inilah yang akan membuat manusia merasa mual. nilah yang dimaksud Sartre sebagai nausee.
  2. L''etre-en-soi
    Etre jika diterjemahkan secara lurus artinya "ada" atau "sesuatu yang ada". Dalam bagian ini Sartre berbicara mengenai realitas. Realitas adalah barang-barang yang ada. Misalnya, manusia dapat mengerti mengenai bumi karena mereka menginjak bumi. Jika diterjemahkan, istilah L'Etre-en-soi berarti pengada yang tidak sadar. Pengada yang tidak sadar gelap bagi dirinya sendiri. Dia tidak dapat dianalisis atau dipikirkan, bahkan tidak mungkin mencari sebab mengapa dia ada.[ Akan tetapi, konsep pengada yang tidak sadar ini tidak bisa mengarah ke pengertian bahwa yang dimaksud di sini adalah Tuhan.
  3. L'etre-pour-soi
    L'etre-pour-soi berarti pengada yang sadar. Sartre menujuk manusia sebagai pengada yang sadar. Sadar akan sesuatu maskudnya terhubung atau berhubungan dengan sesuatu. Menurut Sartre, sadar akan sesuatu berarti meniadakan sesuatu. Tindakan manusia bersifat dinamis dan berubah-ubah. Ketika manusia sadar akan dirinya sendiri, maka dia sebenarnya sedang ada dalam peralihan, meniadakan dirinya sendiri. Disini manusia menjadi objek yang disadari sekaligus subjek yang sadar.
  4. La Liberte
    La liberta artinya kemerdekaan. Dalam bagian ini Sartre membicarakan mengenai kemerdekaan manusia. Manusia bergerak atas kehendaknya sendiri, tidak seperti mesin yang digerakkan. Kemerdekaan menempati posisi sentral dalam diri manusia. Kemerdekaan manusia menurut Sartre adalah ketika manusia dapat menguasai dirinya secara bebas. Menurut Sartre hidup dan kemerdekaan pada dasarnya sia-sia belaka.
  5. L'autrui
    L'autrui membicarakan mengenai hubungan manusia dengan sesama manusianya. Menurut Sartre hubungan manusia dengan sesama manusianya adalah mutlak. Satre menyatakan bahwa dalam berhubungan dengan manusia lain pilihannya adalah menjadi subjek atau objek. Kemudian Sartre mengatakan bahwa dalam pergaulan konflik dan permusuhan akan muncul secara terus menerus.





Sumber :

Rabu, 25 Mei 2016

Hakekat Manusia menurut Auguste Comte

Auguste Comte merupakan filosof dan warga negara Perancis yang hidup di abad ke-19 setelah revolusi Perancis yang terkenal itu. Ia lahir di Montpellier, Perancis, pada tanggal 19 Januari 1798. Ia belajar di sekolah Politeknik di Paris, tetapi ia dikeluarkan karena ia seorang pendukung Republik, sedangkan sekolahnya justru royalistis.
Auguste Comte menerima dan mengalami secara langsung akibat-akibat negatif revolusi tersebut khususnya dibidang sosial, ekonomi, politik, dan pendidikan. Pengalaman pahit yang dilalui dan dialaminya secara langsung bersama bangsanya itu, memotivaisi dirinya untuk memberikan alternatif dan solusi ilmiah-filosofis dengan mengembangkan epistemologi dan metodologi sebagaimana buah pikirannya itu tercermin di dalam aliran Positivisme. Aliran ini menjadi berkembang dengan subur karena didukung  oleh para elit-ilmiah dan maraknya era industrialisasi saat itu
Comte bukanlah orang yang menyukai hal-hal yang berbau matematika, tetapi lebih care pada masalah-masalah sosial dan kemanusiaan. Bersama dengan Henry de’Saint Simon, Comte mencoba mengadakan kajian problem-problem sosial yang diakibatkan industrialisasi. Karena ketekunan dan kepiawaiannya dalam bidang-bidang sosial menjadikan Comte sebagai bapak sosiologi.
Di antara karya-karyanya Auguste Comte, Cours de Philosphie Possitivedapat dikatakan sebagai masterpiece-nya, karena karya itulah  yang paling pokok dan sistematis. Buku ini dapat juga dikatakan sebagai representasi bentangan aktualisasi dari yang di dalamnya Comte menulis tentang tiga tahapan perkembangan manusia.
Menurut Comte, perkembangan manusia berlangsung dalam tiga tahap yaitu :
1.      Tahap Teologis
Pada tahap teologis ini, manusia percaya bahwa dibelakang gejala-gejala alam terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Kuasa-kuasa ini dianggap sebagai makhluk yang memiliki rasio dan kehendak seperti manusia. Tetapi orang percaya bahwa mereka berada pada tingkatan lebih tinggi dari pada makhluk-makhluk selain insani.
Pada taraf pemikiran ini terdapat lagi tiga tahap. Pertama, tahap yang paling bersahaja atau primitif, dimana orang menganggap bahwa segala benda berjiwa (animisme). Kedua, tahap ketika orang menurunkan kelompok hal-hal tertentu, dimana seluruhnya diturunkan dari suatu kekuatan adikodrati yang melatarbelakanginya sedemikian rupa hingga tiap tahapan gejala-gejala memiliki dewa sendiri-sendiri (polytheisme). Gejala-gejala “suci” dapat disebut “dewa-dewa”, dan “dewa-dewa” ini dapat diatur dalam suatu sistem, sehingga menjadi politeisme dengan spesialisasi. Ada dewa api, dewa lautan, dewa angin, dan seterusnya. Ketiga, adalah tahapan tertinggi, dimana pada tahap ini orang mengganti dewa yang bermacam-macam itu dengan satu tokoh tertinggi (esa), yaitu dalam monotheisme.
Singkatnya, pada tahap ini manusia mengarahkan pandangannya kepada hakekat yang batiniah (sebab pertama). Di sini, manusia percaya kepada kemungkinan adanya sesuatu yang mutlak. Artinya, di balik setiap kejadian tersirat adanya maksud tertentu.
2.      Tahap Metafisik
Tahap ini bisa juga disebut sebagai tahap transisi dari pemikiran Comte. Tahapan ini sebenarnya hanya merupakan varian dari cara berpikir teologis, karena di dalam tahap ini dewa-dewa hanya diganti dengan kekuatan-kekuatan abstrak, dengan pengertian atau dengan benda-benda lahiriah, yang kemudian dipersatukan dalam sesuatu yang bersifat umum, yang disebut dengan alam. Terjemahan metafisis dari monoteisme itu misalnya terdapat dalam pendapat bahwa semua kekuatan kosmis dapat disimpulkan dalam konsep “alam”, sebagai asal mula semua gejala.
3.      Tahap Positif
Pada tahap positif, orang tahu bahwa tiada gunanya lagi untuk berusaha mencapai pengenalan atau pengetahuan yang mutlak, baik pengenalan teologis maupun metafisik. Ia tidak lagi mau mencari asal dan tujuan terakhir seluruh alam semesta ini, atau melacak hakekat yang sejati dari “segala sesuatu” yang berada di belakang segala sesuatu. Sekarang orang berusaha menemukan hukum-hukum kesamaan dan urutan yang terdapat pada fakta-fakta yang disajikan kepadanya, yaitu dengan “pengamatan” dan dengan “memakai akalnya”. Pada tahap ini pengertian “menerangkan” berarti fakta-fakta yang khusus dihubungkan dengan suatu fakta umum. Dengan demikian, tujuan tertinggi dari tahap positif ini adalah menyusun dan dan mengatur segala gejala di bawah satu fakta yang umum.
Bagi comte, ketiga tahapan tersebut tidak hanya berlaku bagi perkembangan rohani seluruh umat manusia, tetapi juga berlaku bagi di bidang ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, comte menerangkan bahwa segala ilmu pengetahuan semula dikuasai oleh pengertian-pengertian teologis, sesudah itu dikacaukan dengan pemikiran metafisis dan akhirnya dipengaruhi hukum positif. Jelasnya, ketiga tahapan perkembangan umat manusia itu tidak saja berlaku bagi suatu bangsa atau suku tertentu, akan tetapi juga individu dan ilmu pengetahuan.
Meskipun seluruh ilmu pengetahuan tersebut dalam perkembangannya melalui ketiga macam tahapan tersebut, namun bukan berarti dalam waktu yang bersamaan. Hal demikian dikarenakan segalanya tergantung pada kompleksitas susunan suatu bidang ilmu pengetahuan. Semakin kompleks susunan suatu bidang ilmu pengetahuan tertentu, maka semakin lambat mencapai tahap ketiga.
Lebih jauh Comte berpendapat bahwa pengetahuan positif merupakan puncak pengetahuan manusia yang disebutnya sebagai pengetahuan ilmiah. Di sini, ilmu pengetahuan dapat dikatakan bersifat positif apabila ilmu pengetahuan tersebut memusatkan perhatian pada gejala-gejala yang nyata dan kongrit. Dengan demikian, maka ada kemungkinan untuk memberikan penilaian terhadap berbagai cabang ilmu pengetahuan dengan jalan mengukur isinya yang positif, serta sampai sejauh mana ilmu pengetahuan tersebut dapat mengungkapkan kebenaran yang positif. Sesuai dengan pandangan tersebut kebenaran metafisik yang diperoleh dalam metafisika ditolak, karena kebenarannya sulit dibuktikan dalam kenyataan.
Demikianlah pandangan Auguste Comte tentang hukum tiga tahapnya, yang pada intinya menyatakan bahwa pemikiran tiap manusia, tiap ilmu dan suku bangsa melalui 3 tahap, yaitu teologis, metafisis dan positif ilmiah.  Dalam hal ini Auguste Comte memberikan analog; manusia muda atau suku-suku primitif pada tahap teologis sehingga dibutuhkan figur dewa-dewa untuk “menerangkan” kenyataan.  Meningkat remaja dan mulai dewasa dipakai prinsip-prinsip abstrak dan metafisis.  Pada tahap dewasa dan matang digunakan metode-metode positif dan ilmiah.





Sumber :
http://banyubeningku.blogspot.co.id/2011/03/auguste-comte-dan-aliran-positivisme.html

Sabtu, 14 Mei 2016

Kehendak untuk Berkuasa menurut Friedrich Nietzsche




Friedrich Wilhelm Nietzsche


Konsep kehendak untuk berkuasa (the will to power) adalah salah satu konsep yang paling banyak menarik perhatian dari pemikiran Nietzsche. Dengan konsep ini ia bisa dikategorikan sebagai seorang pemikir naturalistik (naturalistic thinker), yakni yang melihat manusia tidak lebih dari sekedar insting-insting alamiahnya (natural instincts) yang mirip dengan hewan, maupun mahluk hidup lainnya. Nietzsche dengan jelas menyatakan penolakannya pada berbagai konsep filsafat tradisional, seperti kehendak bebas (free will), substansi (substance), kesatuan, jiwa, dan sebagainya. Ia mengajak kita memandang diri kita sendiri sebagai manusia dengan cara-cara baru.

Sebagaimana dicatat oleh Porter, ada tiga konsep dasar yang mewarnai seluruh pemikiran Nietzsche, yakni penerimaan total pada kontradiksi hidup, proses transendensi insting-insting alamiah manusia, dan cara memandang realitas yang menyeluruh (wholism). Pemikiran tentang kehendak untuk berkuasa terselip serta tersebar di dalam tulisan-tulisannya sebagai fragmen-fragmen yang terpecah, dan seolah tak punya hubungan yang cukup jelas. Dari semua fragmen tersebut, menurut Porter, setidaknya ada tiga pengertian dasar tentang kehendak untuk berkuasa, yakni kehendak untuk berkuasa sebagai abstraksi dari realitas, sebagai aspek terdalam sekaligus tertinggi dari realitas (the nature of reality), dan sebagai realitas itu sendiri apa adanya (reality as such). Ketiga makna itu bisa disingkat dalam rumusan berikut, sebagai hakekat terdalam dari alam semesta beserta dengan geraknya yang dilihat dari sisinya yang paling gelap. Dalam bahasa Nietzsche kehendak untuk berkuasa adalah “klaim kekuasaan yang paling tiranik, tak punya pertimbangan, dan tak dapat dihancurkan". Bisa dikatakan ketika berbicara tentang kehendak untuk berkuasa, Nietzsche berubah menjadi seorang filsuf monistik, yang melihat realitas tersusun dari satu unsur terdalam (fundamental aspect) yang menentukan segalanya. Unsur terdalam itulah yang disebutnya sebagai kehendak untuk berkuasa. Ini adalah gambaran intuitif realistik tentang realitas kehidupan manusia, dan kehidupan alam semesta pada umumnya. Dorongan ini tidak dapat ditahan, apalagi dimusnahkan, karena segala sesuatu yang ada berasal dari padanya. Jadi seluruh realitas ini, dan segala yang ada di dalamnya, adalah ledakan sekaligus bentuk lain dari kehendak untuk berkuasa. Ia ada di dalam kesadaran sekaligus ketidaksadaran manusia. Ia ada di dalam aspek intelektual sekaligus instingtual manusia. Kehendak untuk berkuasa adalah dorongan yang mempengaruhi sekaligus membentuk apapun yang ada, sekaligus merupakan hasil dari semua proses-proses realitas itu sendiri. Semua ini terjadi tanpa ada satu sosok yang disebut sebagai pencipta, atau subyek agung. Semua ini adalah gerak realitas itu sendiri yang berjalan mekanis, tanpa pencipta dan tanpa arah.

Bagi Nietzsche dunia adalah sesuatu yang hampa. Dunia tak memiliki pencipta, namun bisa hadir dan berkembang dengan kekuatannya sendiri. Di dalam dunia semacam ini, tidak ada pengetahuan obyektif. Yang diperlukan untuk memperoleh pengetahuan adalah subyektivitas (subjectivity) dan kemampuan untuk menafsir (interpretation). Dua hal ini menurut Nietzsche lahir dari kehendak untuk berkuasa itu sendiri. Dengan subyektivitas dan kemampuan untuk menafsir, manusia bisa melihat hubungan sebab akibat (causality) di dalam dunia. Dengan dua kemampuan ini, manusia bisa menempatkan diri, sekaligus menempatkan benda-benda yang ada di dalam dunia pada tempat yang semestinya. Kehendak untuk berkuasa mendorong manusia untuk menjadi subyek yang aktif di dalam menjalani hidup, sekaligus menjadi penafsir dunia yang memberi makna (meaning) atasnya. Dengan kehendak untuk berkuasa, manusia bisa menciptakan dan menata dunia. Dalam arti ini dunia adalah tempat yang bukan-manusia (inhuman). Dunia menjadi bermakna karena manusia, dengan subyektivitas serta kemampuannya menafsir, memberinya makna, dan menjadikannya “manusiawi” (human).

Nietzsche terkenal sebagai filsuf yang melihat dunia secara positif. Ia menyarankan supaya kita memeluk dunia, dengan segala aspeknya, dan merayakan kehidupan. Dunia dan kehidupan adalah suatu permainan yang tidak memiliki kebenaran, tidak memiliki awal, serta selalu terbuka untuk dimaknai dan ditafsirkan. Dunia bukanlah melulu milik manusia untuk dikuasai dan digunakan, melainkan memiliki nilai pada dirinya sendiri. Dengan kata lain dunia memiliki nilai kosmik, dan tak semata antropomorfik. Manusia harus belajar melihat alam tidak melulu dari kaca matanya sendiri, tetapi juga dari kaca mata alam itu sendiri. Dari kaca mata alam, kehidupan ini sendiri adalah kehendak untuk berkuasa. Maka kehendak berkuasa adalah "afirmasi yang penuh suka cita pada hidup itu sendiri". Hidup memang tak bertujuan dan tak memiliki nilai. Namun manusia diminta untuk menerima dan merayakannya sepenuh hati.

Pemikiran Nietzsche tentang kehendak untuk berkuasa bukanlah sebuah pandangan dunia yang sistematis (systematic worldview). Konsep ini lebih merupakan upayanya untuk menyibak berbagai situasi di dalam dunia, dan menemukan apa yang menjadi dasar dari semuanya. Maka konsep ini tidak bisa diperlakukan sebagai konsep metafisika tradisional, entah sebagai arche di dalam filsafat Yunani Kuno, atau substansi. Menurut Porter konsep kehendak berkuasa, yang dirumuskan oleh Nietzsche, adalah sebuah simbol dari kegagalan manusia untuk memahami hakekat terdalam dari realitas. Artinya pengetahuan manusia itu terbatas, sehingga tak mampu untuk memahami dunia seutuhnya. Dalam konteks ini Nietzsche kemudian menawarkan sebuah pemahaman yang lebih “puitis” tentang hakekat dunia yang memang tak bisa sepenuhnya tertangkap oleh akal budi manusia. Konsep kehendak untuk berkuasa tidak lahir dari penalaran rasional, tetapi dari imajinasi manusia yang melihat dan tinggal di dalam dunia. Bisa dibilang bahwa Nietzsche hendak melepaskan logos sebagai alat utama manusia untuk memahami dunia, dan menawarkan penjelasan mitologis (mythological explanation) yang lebih imajinatif, deskriptif, dan kaya di dalam memahami dunia. Akal budi (reason) menyempitkan dunia, sementara imajinasi dan rasa menangkap kerumitannya, dan merayakannya.

Nietzsche sendiri tidak pernah menyatakan, bahwa konsepnya tentang kehendak untuk berkuasa adalah suatu mitos. Konsep ini lahir dan berkembang, ketika ia membahas pemikiran Schopenhauer, bahwa dunia adalah representasi dari kehendak dan ide manusia (world as will and representation). Walaupun begitu kita tetap harus membedakan model berpikir dari dua filsuf besar ini. Nietzsche melihat dunia sebagai kehendak untuk berkuasa, namun bersikap optimis, dan memilih untuk merayakan kehidupan dengan segala kerumitannya. Sementara Schopenhauer melihat dunia sebagai kehendak buta, bersikap pesimis, serta memilih untuk melarikan diri darinya. Dua sikap ini pada hemat saya juga dapat digunakan untuk memahami mentalitas manusia jaman ini di dalam memandang kehidupan. Di tengah kehidupan yang tak selalu jelas, ada orang yang memilih untuk putus asa, dan kemudian bunuh diri, atau melarikan diri ke berbagai “candu”. Namun ada pula orang yang menanggapi semua itu dengan berani, dan bahkan merayakan absurditas kehidupan itu sendiri. Sikap yang terakhir inilah yang disarankan oleh Nietzsche.


Sumber :
https://rumahfilsafat.com/2011/12/16/manusia-dan-kehendak-untuk-berkuasa/

Senin, 11 April 2016

Arthur Schopenhauer

Arthur Schopenhauer adalah seorang filsuf Jerman yang melanjutkan tradisi filsafat pasca-Kant. Ia lahir pada 22 Februari 1788 di Danzig, Polandia. Keluarga Schopenhauer sangat kental dengan tradisi Belanda. Ayahnya, Heinrich Floris Schopenhauer (1747 – 1805) dan Johanna Schopenhauer adalah seorang pengusaha sukses yang mengontrol keluarganya dengan gaya bisnis. Pada tahun 1809, Schopenhauer memulai studi di University of Gottingen di bidang Kedokteran, kemudian mengambil Filsafat. Di Gottingen, dia terpikat dengan pandangan seorang “skeptical philosopher”, Gottlob Ernst Schulze (1761 – 1833). Lewat Schulze-lah Schopenhauer mengenal pemikiran Plato dan Immanuel Kant. Setelah melewati masa studi 2 tahun di Gottingen, Schopenhauer kemudian mendaftarkan diri di University of Berlin. Di sana ia diajar oleh Johann Gottlieb Fichte (1762 – 1814), dan Friedrich Schleiermacher (1768-1834). 
Pada tahun 1833, Dia hidup sebagai bujang kaya berkat warisan orangtuanya. Schopenhauer hidup dengan ketakutan kerena dia merasa terancam. Oleh sebab itu, dia sering tidur dengan pistol di sampingnya. Ia banyak menerbitkan tulisan, namun tidak laku dijual. Dia sendirilah yang membeli buku karya tulisannya untuk disimpan. Schopenhauer pernah menjalin hubungan dengan Caroline Medon selama 10 tahun, tapi Schopenhauer tidak pernah berminat untuk meresmikan hubungan itu. Belakangan saat berusia 43 tahun, ia mulai memikirkan pernikahan dan mendekati Flora Weiss, namun tidak berhasil. Setelah kegagalan-kegagalan yang dialaminya, Schopenhauer memutuskan untuk pindah ke sebuah apartemen di Frankfurt pada tahun 1833. Schopenhauer hidup sendiri. rencana pernikahannya selalu berantakan. Dia menganggap hidup dengan banyak orang memuakkan dan membuang waktu baginya. Ia menghina dan mengejek Kaum wanita sebagai “para karikatur”.
Tahun 1851 Schopenhauer mencapai puncak ketenarannya setelah buku kumpulan esainya diterbitkan dan menjadi bestseller. Kesehatannya mulai memburuk dan ia pun meninggal pada 21 September 1860 karena gagal jantung ketika duduk di bangku sekitar rumahnya. Schopenhauer meninggal pada usia 72 tahun.
Pesimisme Metafisis Schopenhauer 
Kehendak metafisis adalah dorongan buta untuk tidak pernah mencapai kepuasan dan tujuannya. Ia terus beruang tapi tak pernah mencapai apa-apa. Manusia melakukan jerih payah untuk bahagia padahal ia tidak akan menghasilkan apa-apa. Dalam hal ini, kebahagiaan hanya bisa dicapai dengan “pemadaman hasrat” dan “pelepasan rasa sakit.”. Kebahagiaan tidak bersifat positif, tapi justru negatif. Yang positif adalah kehendak. Kehendak buta juga sumber konflik dan penderitaan. Sehingga kehendak metafisis adalah kehendak yang menganiaya. Sehingga pandangannya disebut pesimisme. Ia menilai bahwa manusia berjuang mencapai kedamaiannya, padahal semua itu akan jadi sia-sia. Sehigga apabila tercapai satu tujuan, maka ia akan menuju pada kebosanan yang lain dan itu membuat tujuan untuk bahagia itu tidak pernah tercapai. 
Kesimpulan
Menurut saya Arthur Schopenhauer adalah filsuf yang idealisme, semua dasar pemikirannya memiliki keyakinan yang kokoh dan ia memandang dunia ini sebagai ide dan kehendak , dan tiada jalan yang menuju kepada dunia melainkan di dalam dirinya sendiri. Mengenai paham pesimisme yang dimaksud oleh Arthur Schopenhauer yaitu tidak selalu pesimisme bersifat negatif tetapi juga memiliki unsur positif. Karena di dunia pasti ada kejahatan. Tetapi, kejahatan tidak dapat di pandang sebagai prinsip kehidupan. Bila kejahatan menjadi prinsip kehidupan, segala yang ada dalam kehidupan pasti jahat, padahal kenyataannya tidak segalanya jahat. Dan menilai bahwa, manusia selalu berjuang mencapai kedamaiannya, walaupun padahal semua itu akan jadi sia-sia. Sehigga apabila tercapai satu tujuan, maka ia akan menuju pada kebosanan yang lain dan itu membuat tujuan untuk bahagia itu tidak pernah tercapai.





Sumber :
https://id.wikipedia.org/wiki/Arthur_Schopenhauer
http://astitriyatni.weblog.esaunggul.ac.id/2015/04/15/biografi-dan-pemikiran-arthur-schopenhauer/
http://syaharbanu.blogspot.co.id/2013/01/pesimisme-metafisis-arthur-schopenhauer.html








Senin, 28 Maret 2016

Rene Descartes

Rene Descartes ( 1596-1650) adalah filsuf perancis yang dijuluki "Bapak Filsafat Modern", Ia peletak dasar aliran rasionalisme. Awalnya ia belajar filsafat skolastik pada kolese yang dipimpin oleh para pater jesuit. Namun, semangat keraguan telah membuatnya terus mempertanyakan filsafat dan ilmu pengetahuan yang dipelajarinya. Keprihatinan utama Descartes adalah otoritas gereja dan otoritas filsuf-filsuf yunani yang selalu menjadi tolak ukur suatu kepastian. Lalu, Descartes mencanangkan proyek pencarian landasan yang paling kokoh bagi kepastian pengetahuan manusia. Ia mendedahkan beberapa karya utama seperti discourse de la methode (1637), Meditationes de prima philosophia ( 1641) dan Principia philosophiae ( 1644) orisinalitas pemikiran Descartes terletak pada idenya tentang metode kesangsian , untuk memperoleh kebenaran yang tak tergoyahkan. Descartes mengklaim dirinya telah menemukan metode filsafat yang sangat tajam dan kritis. yaitu metode yang dimulai dengan menyangsikan segala-galanya. Apa pun yang masih bisa disangsikan, wajib disangsikan. seluruh pengetahuan yang dimiliki disangsikan, termasuk pengetahuan yang dianggap paling pasti, yaitu pengetahuan  tentang dunia eskternal di luar subjek manusia. Argumentasi Descartes adalah apa yang selama ini kita terima  melalui data-data inderawi sebagai suatu kepastian bisa saja sebuah mimpi yang kita rasakan sebagai kenyataan. Bahkan pengetahuan matematis yang dianggap paling pasti pun masih diragukan descartes. Ia mengtakan, bisa saja setiap kali kita menjumlahkan 3 dan 7 , sesosok iblis jahanam selalu menipu kita [1].

Disamping seorang tokoh rasionalime, Descartes pun merupakan seorang filsuf yang ajaran filsafatnya sangat populer, karena pandangannya yang tidak pernah goyah, tentang kebenaran tertinggi berada pada akal atau rasio manusia. Rene Descartes seorang filsuf yang tidak puas dengan filsafat Skolastik yang pandangan-pandangannya saling bertentangan, dan tidak ada kepastian disebabkan oleh miskinnya metode berfikir yang tepat. Descartes kemudian mengemukakan metode baru yaitu metode keragu-raguan. Jika orang ragu terhadap segala sesuatu, dalam keragu-raguan itu, jelas ia sedang berfikir. Sebab, yang sedang berfikir itu tentu ada dan jelas terang-benderang. Cogito ergo sum (saya berfikir, maka saya ada) [2].


Filsafat menurut Rene descartes adalah kumpulan semua pengetahuan dimana Tuhan, alam, dan manusia menjadi pokok penyelidikan. Descartes percaya kebenaran dapat di cari berdasarkan penalaran proposi-proposi (pernyataan-pernyataan) yang terlepas dari pengalaman indrawi sebagaimana  di praktikan dalam matematika. Semuanya di peroleh dengan menggunakan akal pikiran . Pikiran seperti ini tidak mengherankan dari seorang descartes, sebab pada mulanya ialah seorang matikawan [3].













Sumber :

[1] http://www.kompasiana.com/arilpratama/alur-logika-rene-descartes_552e5bab6ea83406538b4573
[2] http://kandangmu.blogspot.co.id/2012/12/tokoh-filsafat-modern-rene-descartes.html
[3] http://fariskayosi.blogspot.co.id/2014/07/makalah-pemikiran-filsafat-rene.html