Friedrich Wilhelm
Nietzsche
Konsep kehendak untuk berkuasa (the will to power) adalah salah satu konsep yang paling banyak menarik perhatian dari pemikiran Nietzsche. Dengan konsep ini ia bisa dikategorikan sebagai seorang pemikir naturalistik (naturalistic thinker), yakni yang melihat manusia tidak lebih dari sekedar insting-insting alamiahnya (natural instincts) yang mirip dengan hewan, maupun mahluk hidup lainnya. Nietzsche dengan jelas menyatakan penolakannya pada berbagai konsep filsafat tradisional, seperti kehendak bebas (free will), substansi (substance), kesatuan, jiwa, dan sebagainya. Ia mengajak kita memandang diri kita sendiri sebagai manusia dengan cara-cara baru.
Sebagaimana
dicatat oleh Porter, ada tiga konsep dasar yang mewarnai seluruh pemikiran
Nietzsche, yakni penerimaan total pada kontradiksi hidup, proses
transendensi insting-insting alamiah manusia, dan cara memandang realitas yang
menyeluruh (wholism). Pemikiran tentang kehendak untuk
berkuasa terselip serta tersebar di dalam tulisan-tulisannya sebagai
fragmen-fragmen yang terpecah, dan seolah tak punya hubungan yang cukup jelas.
Dari semua fragmen tersebut, menurut Porter, setidaknya ada tiga pengertian
dasar tentang kehendak untuk berkuasa, yakni kehendak untuk berkuasa sebagai
abstraksi dari realitas, sebagai aspek terdalam sekaligus tertinggi dari
realitas (the nature of reality), dan sebagai realitas itu
sendiri apa adanya (reality as such). Ketiga makna itu bisa disingkat
dalam rumusan berikut, sebagai hakekat terdalam dari alam semesta beserta
dengan geraknya yang dilihat dari sisinya yang paling gelap. Dalam bahasa
Nietzsche kehendak untuk berkuasa adalah “klaim kekuasaan yang paling tiranik,
tak punya pertimbangan, dan tak dapat dihancurkan". Bisa dikatakan
ketika berbicara tentang kehendak untuk berkuasa, Nietzsche berubah menjadi seorang
filsuf monistik, yang melihat realitas tersusun dari satu unsur terdalam (fundamental aspect) yang menentukan segalanya. Unsur
terdalam itulah yang disebutnya sebagai kehendak untuk berkuasa. Ini adalah
gambaran intuitif realistik tentang realitas kehidupan manusia, dan kehidupan
alam semesta pada umumnya. Dorongan ini tidak dapat ditahan, apalagi
dimusnahkan, karena segala sesuatu yang ada berasal dari padanya. Jadi seluruh
realitas ini, dan segala yang ada di dalamnya, adalah ledakan sekaligus bentuk
lain dari kehendak untuk berkuasa. Ia ada di dalam kesadaran sekaligus
ketidaksadaran manusia. Ia ada di dalam aspek intelektual sekaligus instingtual
manusia. Kehendak untuk berkuasa adalah dorongan yang mempengaruhi sekaligus
membentuk apapun yang ada, sekaligus merupakan hasil dari semua proses-proses
realitas itu sendiri. Semua ini terjadi tanpa ada satu sosok yang disebut
sebagai pencipta, atau subyek agung. Semua ini adalah gerak realitas itu
sendiri yang berjalan mekanis, tanpa pencipta dan tanpa arah.
Bagi
Nietzsche dunia adalah sesuatu yang hampa. Dunia tak memiliki pencipta, namun
bisa hadir dan berkembang dengan kekuatannya sendiri. Di dalam dunia semacam
ini, tidak ada pengetahuan obyektif. Yang diperlukan untuk memperoleh
pengetahuan adalah subyektivitas (subjectivity) dan kemampuan untuk menafsir (interpretation). Dua hal ini menurut Nietzsche lahir
dari kehendak untuk berkuasa itu sendiri. Dengan subyektivitas dan
kemampuan untuk menafsir, manusia bisa melihat hubungan sebab akibat (causality) di dalam dunia. Dengan dua kemampuan ini,
manusia bisa menempatkan diri, sekaligus menempatkan benda-benda yang ada di
dalam dunia pada tempat yang semestinya. Kehendak untuk berkuasa mendorong
manusia untuk menjadi subyek yang aktif di dalam menjalani hidup, sekaligus
menjadi penafsir dunia yang memberi makna (meaning) atasnya. Dengan kehendak untuk berkuasa,
manusia bisa menciptakan dan menata dunia. Dalam arti ini dunia adalah tempat
yang bukan-manusia (inhuman). Dunia menjadi bermakna karena manusia, dengan
subyektivitas serta kemampuannya menafsir, memberinya makna, dan menjadikannya
“manusiawi” (human).
Nietzsche
terkenal sebagai filsuf yang melihat dunia secara positif. Ia menyarankan
supaya kita memeluk dunia, dengan segala aspeknya, dan merayakan kehidupan.
Dunia dan kehidupan adalah suatu permainan yang tidak memiliki kebenaran, tidak
memiliki awal, serta selalu terbuka untuk dimaknai dan ditafsirkan. Dunia
bukanlah melulu milik manusia untuk dikuasai dan digunakan, melainkan memiliki
nilai pada dirinya sendiri. Dengan kata lain dunia memiliki nilai kosmik, dan
tak semata antropomorfik. Manusia harus belajar melihat alam tidak melulu dari
kaca matanya sendiri, tetapi juga dari kaca mata alam itu sendiri. Dari kaca
mata alam, kehidupan ini sendiri adalah kehendak untuk berkuasa. Maka kehendak
berkuasa adalah "afirmasi yang penuh suka cita pada hidup itu
sendiri". Hidup memang tak bertujuan dan tak memiliki nilai. Namun
manusia diminta untuk menerima dan merayakannya sepenuh hati.
Pemikiran
Nietzsche tentang kehendak untuk berkuasa bukanlah sebuah pandangan dunia yang
sistematis (systematic worldview). Konsep ini lebih merupakan
upayanya untuk menyibak berbagai situasi di dalam dunia, dan menemukan apa yang
menjadi dasar dari semuanya. Maka konsep ini tidak bisa diperlakukan sebagai
konsep metafisika tradisional, entah sebagai arche di dalam filsafat Yunani Kuno, atau
substansi. Menurut Porter konsep kehendak berkuasa, yang dirumuskan oleh
Nietzsche, adalah sebuah simbol dari kegagalan manusia untuk memahami hakekat
terdalam dari realitas. Artinya pengetahuan manusia itu terbatas, sehingga tak
mampu untuk memahami dunia seutuhnya. Dalam konteks ini Nietzsche kemudian
menawarkan sebuah pemahaman yang lebih “puitis” tentang hakekat dunia yang
memang tak bisa sepenuhnya tertangkap oleh akal budi manusia. Konsep
kehendak untuk berkuasa tidak lahir dari penalaran rasional, tetapi dari
imajinasi manusia yang melihat dan tinggal di dalam dunia. Bisa dibilang bahwa
Nietzsche hendak melepaskan logos sebagai alat utama manusia untuk memahami
dunia, dan menawarkan penjelasan mitologis (mythological explanation) yang lebih imajinatif,
deskriptif, dan kaya di dalam memahami dunia. Akal budi (reason) menyempitkan dunia, sementara imajinasi dan
rasa menangkap kerumitannya, dan merayakannya.
Nietzsche
sendiri tidak pernah menyatakan, bahwa konsepnya tentang kehendak untuk
berkuasa adalah suatu mitos. Konsep ini lahir dan berkembang, ketika ia
membahas pemikiran Schopenhauer, bahwa dunia adalah representasi dari kehendak
dan ide manusia (world as will and representation). Walaupun
begitu kita tetap harus membedakan model berpikir dari dua filsuf besar ini.
Nietzsche melihat dunia sebagai kehendak untuk berkuasa, namun bersikap
optimis, dan memilih untuk merayakan kehidupan dengan segala kerumitannya.
Sementara Schopenhauer melihat dunia sebagai kehendak buta, bersikap pesimis,
serta memilih untuk melarikan diri darinya. Dua sikap ini pada hemat saya
juga dapat digunakan untuk memahami mentalitas manusia jaman ini di dalam memandang
kehidupan. Di tengah kehidupan yang tak selalu jelas, ada orang yang
memilih untuk putus asa, dan kemudian bunuh diri, atau melarikan diri ke
berbagai “candu”. Namun ada pula orang yang menanggapi semua itu dengan berani,
dan bahkan merayakan absurditas kehidupan itu sendiri. Sikap yang terakhir
inilah yang disarankan oleh Nietzsche.
Sumber :
https://rumahfilsafat.com/2011/12/16/manusia-dan-kehendak-untuk-berkuasa/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar